NAMA : MARTAWATY ALUI
NIM : 921 413 170
KELAS : F
Gelapkan Pajak, PT. Asian Agri
Group Dihukum Denda Rp 2,5 Triliun
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk
usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto.
Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT
AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda
Mas, di antaranya: Asia
Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon,
PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific
Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit,
karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG
merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19
pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik
minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG,
bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di
Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006.
Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT
AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus
oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan
diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah
dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS
berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda
Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang
ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan
sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen
yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”,
disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi
di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual
kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di
dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar
negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan
Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral
Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14
perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa
penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain
itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan
hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar.
mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga
telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6
triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode
2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada
bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing
berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka
tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di
samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang
tersangka tersebut.Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak
terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo
– baik koran maupun majalah –
dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara,
apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle
blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan,
aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan
pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum
11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di
kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya
dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara
pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi
publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa
pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari
solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa
atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias
dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset
tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakanTempo.Apa yang dialami
Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan
cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini
bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang
yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.
Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan –
intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun
pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria
Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang
dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk
membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan
penggelapan pajak oleh PT AAG.
Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres
dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang
bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang.
Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam
kejahatan pencucian uang. Pertama,
penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan
yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain.Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana
dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks.
SOLUSI
Menurut saya solusi dari kasus tersebut yaitu dari kasus Asian Agri ini bisa menjadi cermin sempurna
bagi penegak hukum kita. Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak
sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan
segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga
melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang
yang lemah. Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat
Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai
tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini ditangani dengan tuntas, amat
besar uang negara yang bisa diselamatkan. Upaya ini juga akan mencegah
pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah
mendongkrak penerimaan pajak tercapai. Tidak sewajarnya polisi mengkhianati
program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian
uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil
“penghematan” pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya
diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan
penggelapan pajak Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan
harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan
untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan
kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha,
semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan
kedudukan warga negara di hadapan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar