Senin, 13 Oktober 2014

NAMA : Widya apriliyani liputo NIM : 921413167 KELAS : F Kasus Pajak Mantan Dirjen Pajak JAKARTA - Ketika mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan H.P ditetapkan sebagai tersangka atas kasus keberatan pajak BCA semasa menjabat sebagai Dirjen Pajak pada periode 2003-2004 (21 April 2014), tentunya publik penasaran tentang detail kasus yang disangkakan. Adapun dengan alasan me nyang-kut materi penyidikan, Ketua KPK Abraham Samad sangat terbatas menjelaskan detail kasus yang terjadi. Yang pasti, menurut KPK, ditemukan dua alat bukti yang kuat sehingga H.P diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak dan negara dirugikan sekitar Rp375 miliar. Seperti yang banyak diberitakan, bahwa kasus pajak H.P ini berkaitan dengan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak—BCA—atas kredit macet (non performing loan/NPL) sebesar Rp5,75 triliun. Kalau merujuk informasi ini, maka materi yang disangkakan kepada H.P dapat ditebak. Tentunya, pengajuan keberatan oleh BCA berawal dari satu keputusan pajak yang ditetapkan sebelumnya, produk hukum hasil pemeriksaan. Kalau menyangkut NPL, maka seringkali perbedaan pendapat (dispute) antara Ditjen Pajak dan Wajib Pajak berkisar apakah NPL tersebut- dalam istilah pajak dikenal dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih-dapat dibebankan se-bagai pengurang penghasilan bruto atau tidak. Karena kasus pajak tersebut terjadi pada 2003-2004, maka kebijakan tentang NPL mengacu pada UU Pajak Penghasilan (PPh) perubahan Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001. Disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf h UU PPh bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan persyaratan diatur lebih lanjut dengan keputusan Dirjen Pajak. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 diuraikan NPL yang dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat akumulatif berupa : telah dibebankan seba-gai biaya dalam laporan laba rugi komersial, telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan Wajib Pajak harus menyerahkan daftar debitur NPL kepada Ditjen Pajak. Nah, dapat saja, walaupun telah menyerahkan seluruh persyaratan yang minta tetap terjadi koreksi karena secara material tidak memenuhi syarat. Misalnya, apabila pemeriksa pajak menemukan di dalam daftar debitur NPL yang disampaikan adanya debitur yang memiliki hubungan istimewa dengan pengurus bank atau keluarganya atau ditemukan identitas debitur yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Dilain pihak, Wajib Pajak tetap berpendapat benar karena dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai hal tersebut. Karena baru pada 2010, Menteri Keuangan menerbitkan aturan NPL yang lebih komprehensif di mana di dalamnya juga mengatur tentang hubungan istimewa debitur. Akibatnya, Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak sebelumnya, yang kemudian ditangani oleh tim keberatan Kantor Pusat Ditjen Pajak karena jumlahnya sangat signifikan. Karena belum diatur, maka analisis, kebijakan, dan keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak harusnya konsisten untuk seluruh kasus yang serupa. Maka, wajar, ketika KPK menemukan kejanggalan atas dikabulkannya keberatan BCA ini. Karena sebelumnya, atas kasus yang sama oleh Wajib Pajak lain, justru keberatannya ditolak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menganggap perbuatan ini merugikan negara atau menguntungkan orang lain atau korporasi dengan cara mengecilkan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. SOLUSI Satu hal yang harus diakui bahwa ketentuan atau aturan hukum tentang perpajakan masih terus harus disempurnakan. Sebenarnya Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 yang mengatur pembiayaan NPL juga telah disusun dengan prinsip kehati-hatian dan bertujuan untuk mendukung likuiditas dunia perbankan. Untuk meminimalkan kerugian negara atas produk hukum pajak yang diterbitkan, diatur klausul apabila dikemudian hari NPL yang telah dibebankan tersebut ter-nyata dibayarkan oleh debitur yang bersangkutan, maka atas piutang yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan dan dikenakan pajak. Namun, ternyata, masih banyak celah akibat belum adanya pengaturan yang jelas dan rinci tentang ini. Oleh karena itu, dengan terbitnya UU PPh yang baru tahun 2009, ketika pengaturan tentang pembebanan NPL didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tahun 2010–bukan lagi pada Keputusan Dirjen Pajak, diharapkan mampu meminimalkan perbedaan penafsiran yang ada. Terjadinya sengketa pajak–keberatan dan banding–sebagian besar diawali dengan penafsiran aturan pajak yang berbeda antara petugas pajak dan Wajib Pajak. Apabila mau dirunut, harus diakui bahwa beberapa kasus besar pajak yang terungkap selalu terjadi di wilayah abu-abu (grey area) aturan pajak yang ada. Maka, solusi mengatasi hal ini adalah dengan menciptakan aturan pajak yang tidak multitafsir. Karena dengan aturan yang tidak multitafsir mampu menghilangkan sengketa perpajakan. Secara tidak langsung juga menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh petugas pajak atau godaan Wajib Pajak yang nakal. Oleh karena itu, sejak tahun 1983, UU Perpajakan terus mengalami diamandemen. Rencananya, Ditjen Pajak juga akan menginisiasi amendemen UU Perpajakan tahun ini sehingga nantinya UU Perpajakan yang terbaru lebih komprehensif lagi. Selain itu, struktur organisasi yang menangani keberatan pajak juga perlu dievaluasi. Kalau sejak 2011, sebagaian fungsi regulasi di bidang perpajakan telah dijalankan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dapat saja, untuk menjawab kritikan besarnya wewenang Ditjen Pajak saat ini, wewenang penyelesaian keberatan pajak dilepas dari Ditjen Pajak. Kementerian Keuangan dapat membentuk unit kerja baru yang bertugas menangani proses keberatan Wajib Pajak, yang selama ini dita ngani oleh Kantor Wilayah Ditjen Pajak. Sehingga, Ditjen Pajak lebih berfungsi sebagai operator penerimaan pajak dengan fokus pada aspek edukasi dan peng-awasan terhadap Wajib Pajak. Mau tidak mau, kasus pajak mantan Dirjen Pajak ini kembali menyeret Ditjen Pajak ke stigma yang negatif. Ketika kasus ini terjadi, rentang 2003–2004, Ditjen Pajak memang baru memulai reformasi perpajakan. Dimana, ada satu Kantor Wilayah Ditjen Pajak yang menjadi proyek percontohannya, yang kebetulan Wajib Pajak BCA terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kantor Wilayah Ditjen Pajak tersebut.



NAMA           : Widya apriliyani liputo
NIM                : 921413167
KELAS          : F

Kasus Pajak Mantan Dirjen Pajak


JAKARTA - Ketika mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan H.P ditetapkan sebagai tersangka atas kasus keberatan pajak BCA semasa menjabat sebagai Dirjen Pajak pada periode 2003-2004 (21 April 2014), tentunya publik penasaran tentang detail kasus yang disangkakan. 
Adapun dengan alasan me   nyang-kut materi penyidikan, Ketua KPK Abraham Samad sangat terbatas menjelaskan detail kasus yang terjadi.  Yang pasti, menurut KPK, ditemukan dua alat bukti yang kuat sehingga H.P diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak dan negara dirugikan sekitar Rp375 miliar. 
Seperti yang banyak diberitakan, bahwa kasus pajak H.P ini berkaitan dengan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak—BCA—atas kredit macet (non performing loan/NPL) sebesar Rp5,75 triliun. 
Kalau merujuk informasi ini, maka materi yang disangkakan kepada H.P dapat ditebak. Tentunya, pengajuan keberatan oleh BCA berawal dari satu keputusan pajak yang ditetapkan sebelumnya, produk hukum hasil pemeriksaan. 
Kalau menyangkut NPL, maka seringkali perbedaan pendapat (dispute) antara Ditjen Pajak dan Wajib Pajak berkisar apakah NPL tersebut- dalam istilah pajak dikenal dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih-dapat dibebankan se-bagai pengurang penghasilan bruto atau tidak.
 Karena kasus pajak tersebut terjadi pada 2003-2004, maka kebijakan tentang NPL mengacu pada UU Pajak Penghasilan (PPh) perubahan Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001. 
Disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf h UU PPh bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan persyaratan diatur lebih lanjut dengan keputusan Dirjen Pajak. 
Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 diuraikan NPL yang dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat akumulatif berupa : telah dibebankan seba-gai biaya dalam laporan laba rugi
komersial, telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan Wajib Pajak harus menyerahkan daftar debitur NPL kepada Ditjen Pajak.
Nah, dapat saja, walaupun telah menyerahkan seluruh persyaratan yang minta tetap terjadi koreksi karena secara material tidak memenuhi syarat.  Misalnya, apabila pemeriksa pajak menemukan di dalam daftar debitur NPL yang disampaikan adanya debitur yang memiliki hubungan istimewa dengan pengurus bank atau keluarganya atau ditemukan identitas debitur yang tidak dapat diyakini kebenarannya.
Dilain pihak, Wajib Pajak tetap berpendapat benar karena dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Karena baru pada 2010, Menteri Keuangan menerbitkan aturan NPL yang lebih komprehensif di mana di dalamnya juga mengatur tentang hubungan istimewa debitur.  Akibatnya, Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak sebelumnya, yang kemudian ditangani oleh tim keberatan Kantor Pusat Ditjen Pajak karena jumlahnya sangat signifikan.
Karena belum diatur, maka analisis, kebijakan, dan keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak harusnya konsisten  untuk seluruh kasus yang serupa. 
Maka, wajar, ketika KPK menemukan kejanggalan atas dikabulkannya keberatan BCA ini.  Karena sebelumnya, atas kasus yang sama oleh Wajib Pajak lain, justru keberatannya ditolak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menganggap perbuatan ini merugikan negara atau menguntungkan orang lain atau korporasi dengan cara mengecilkan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. 
SOLUSI
Satu hal yang harus diakui bahwa ketentuan atau aturan hukum tentang perpajakan masih terus harus disempurnakan. Sebenarnya Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 yang mengatur pembiayaan NPL juga telah disusun dengan prinsip kehati-hatian dan bertujuan untuk mendukung likuiditas dunia perbankan. 
Untuk meminimalkan kerugian negara atas produk hukum pajak yang diterbitkan, diatur klausul apabila dikemudian hari NPL yang telah dibebankan tersebut ter-nyata dibayarkan oleh debitur yang bersangkutan, maka atas piutang yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan dan dikenakan pajak. 
Namun, ternyata, masih banyak celah akibat belum adanya pengaturan yang jelas dan rinci tentang ini. Oleh karena itu, dengan terbitnya UU PPh yang baru tahun 2009, ketika pengaturan tentang pembebanan NPL didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tahun 2010–bukan lagi pada Keputusan Dirjen Pajak, diharapkan mampu meminimalkan perbedaan penafsiran yang ada. 
Terjadinya sengketa pajak–keberatan dan banding–sebagian besar diawali dengan penafsiran aturan pajak yang berbeda antara petugas pajak dan Wajib Pajak. 
Apabila mau dirunut, harus diakui bahwa beberapa kasus besar pajak yang terungkap selalu terjadi di wilayah abu-abu (grey area) aturan pajak yang ada. 
Maka, solusi mengatasi hal ini adalah dengan menciptakan aturan pajak yang tidak multitafsir.  Karena dengan aturan yang tidak multitafsir mampu menghilangkan sengketa perpajakan. 
Secara tidak langsung juga menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh petugas pajak atau godaan Wajib Pajak yang nakal.
Oleh karena itu, sejak tahun 1983, UU Perpajakan terus mengalami diamandemen.  Rencananya, Ditjen Pajak juga akan menginisiasi amendemen UU Perpajakan tahun ini sehingga nantinya UU Perpajakan yang terbaru lebih komprehensif lagi.
Selain itu, struktur organisasi yang menangani keberatan pajak juga perlu dievaluasi. Kalau sejak 2011, sebagaian fungsi regulasi di bidang perpajakan telah dijalankan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.  Dapat saja, untuk menjawab kritikan besarnya  wewenang Ditjen Pajak saat ini, wewenang penyelesaian keberatan pajak dilepas dari Ditjen Pajak.  Kementerian Keuangan dapat membentuk unit kerja baru yang bertugas menangani proses keberatan Wajib Pajak, yang selama ini dita ngani oleh Kantor Wilayah Ditjen Pajak.
 Sehingga, Ditjen Pajak lebih berfungsi sebagai operator penerimaan pajak dengan fokus pada aspek edukasi dan peng-awasan terhadap Wajib Pajak. Mau tidak mau, kasus pajak mantan Dirjen Pajak ini kembali menyeret Ditjen Pajak ke stigma yang negatif.
Ketika kasus ini terjadi, rentang 2003–2004, Ditjen Pajak memang baru memulai reformasi perpajakan.  Dimana, ada satu Kantor Wilayah Ditjen Pajak yang menjadi proyek percontohannya, yang kebetulan Wajib Pajak BCA terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kantor Wilayah Ditjen Pajak tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar