NAMA : Widya apriliyani liputo
NIM : 921413167
KELAS : F
Kasus Pajak Mantan Dirjen Pajak
JAKARTA -
Ketika mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan H.P ditetapkan sebagai tersangka
atas kasus keberatan pajak BCA semasa menjabat sebagai Dirjen Pajak pada
periode 2003-2004 (21 April 2014), tentunya publik penasaran tentang detail
kasus yang disangkakan.
Adapun dengan alasan me
nyang-kut materi penyidikan, Ketua KPK Abraham Samad sangat terbatas
menjelaskan detail kasus yang terjadi. Yang pasti, menurut KPK, ditemukan
dua alat bukti yang kuat sehingga H.P diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku
Dirjen Pajak dan negara dirugikan sekitar Rp375 miliar.
Seperti
yang banyak diberitakan, bahwa kasus pajak H.P ini berkaitan dengan pengajuan
keberatan oleh Wajib Pajak—BCA—atas kredit macet (non performing loan/NPL)
sebesar Rp5,75 triliun.
Kalau merujuk informasi ini, maka materi
yang disangkakan kepada H.P dapat ditebak. Tentunya, pengajuan keberatan oleh
BCA berawal dari satu keputusan pajak yang ditetapkan sebelumnya, produk hukum
hasil pemeriksaan.
Kalau
menyangkut NPL, maka seringkali perbedaan pendapat (dispute)
antara Ditjen Pajak dan Wajib Pajak berkisar apakah NPL tersebut- dalam istilah
pajak dikenal dengan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih-dapat
dibebankan se-bagai pengurang penghasilan bruto atau tidak.
Karena kasus pajak tersebut terjadi
pada 2003-2004, maka kebijakan tentang NPL mengacu pada UU Pajak Penghasilan
(PPh) perubahan Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun
2001.
Disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf h
UU PPh bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi dengan piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih dengan persyaratan diatur lebih lanjut dengan keputusan
Dirjen Pajak.
Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238
Tahun 2001 diuraikan NPL yang dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat
akumulatif berupa : telah dibebankan seba-gai biaya dalam laporan laba rugi
komersial, telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan Wajib Pajak harus
menyerahkan daftar debitur NPL kepada Ditjen Pajak.
Nah, dapat saja, walaupun telah menyerahkan
seluruh persyaratan yang minta tetap terjadi koreksi karena secara material
tidak memenuhi syarat. Misalnya, apabila pemeriksa pajak menemukan di
dalam daftar debitur NPL yang disampaikan adanya debitur yang memiliki hubungan
istimewa dengan pengurus bank atau keluarganya atau ditemukan identitas debitur
yang tidak dapat diyakini kebenarannya.
Dilain pihak, Wajib Pajak tetap
berpendapat benar karena dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001
tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Karena baru pada 2010, Menteri Keuangan
menerbitkan aturan NPL yang lebih komprehensif di mana di dalamnya juga
mengatur tentang hubungan istimewa debitur. Akibatnya, Wajib Pajak
mengajukan keberatan atas ketetapan pajak sebelumnya, yang kemudian ditangani
oleh tim keberatan Kantor Pusat Ditjen Pajak karena jumlahnya sangat
signifikan.
Karena belum diatur, maka analisis,
kebijakan, dan keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak harusnya
konsisten untuk seluruh kasus yang serupa.
Maka, wajar, ketika KPK menemukan
kejanggalan atas dikabulkannya keberatan BCA ini. Karena sebelumnya, atas
kasus yang sama oleh Wajib Pajak lain, justru keberatannya ditolak. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menganggap perbuatan ini merugikan negara
atau menguntungkan orang lain atau korporasi dengan cara mengecilkan jumlah
pajak yang seharusnya dibayar.
SOLUSI
Satu hal yang harus diakui bahwa ketentuan
atau aturan hukum tentang perpajakan masih terus harus disempurnakan.
Sebenarnya Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 yang mengatur pembiayaan
NPL juga telah disusun dengan prinsip kehati-hatian dan bertujuan untuk
mendukung likuiditas dunia perbankan.
Untuk meminimalkan kerugian negara atas
produk hukum pajak yang diterbitkan, diatur klausul apabila dikemudian hari NPL
yang telah dibebankan tersebut ter-nyata dibayarkan oleh debitur yang
bersangkutan, maka atas piutang yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan
dan dikenakan pajak.
Namun, ternyata, masih banyak celah akibat
belum adanya pengaturan yang jelas dan rinci tentang ini. Oleh karena itu,
dengan terbitnya UU PPh yang baru tahun 2009, ketika pengaturan tentang
pembebanan NPL didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tahun
2010–bukan lagi pada Keputusan Dirjen Pajak, diharapkan mampu meminimalkan
perbedaan penafsiran yang ada.
Terjadinya sengketa pajak–keberatan dan
banding–sebagian besar diawali dengan penafsiran aturan pajak yang berbeda
antara petugas pajak dan Wajib Pajak.
Apabila mau
dirunut, harus diakui bahwa beberapa kasus besar pajak yang terungkap selalu
terjadi di wilayah abu-abu (grey area) aturan
pajak yang ada.
Maka, solusi mengatasi hal ini adalah
dengan menciptakan aturan pajak yang tidak multitafsir. Karena dengan
aturan yang tidak multitafsir mampu menghilangkan sengketa perpajakan.
Secara tidak langsung juga menghindarkan
penyalahgunaan kekuasaan oleh petugas pajak atau godaan Wajib Pajak yang nakal.
Oleh karena itu, sejak tahun 1983, UU
Perpajakan terus mengalami diamandemen. Rencananya, Ditjen Pajak juga
akan menginisiasi amendemen UU Perpajakan tahun ini sehingga nantinya UU
Perpajakan yang terbaru lebih komprehensif lagi.
Selain itu, struktur organisasi yang
menangani keberatan pajak juga perlu dievaluasi. Kalau sejak 2011, sebagaian
fungsi regulasi di bidang perpajakan telah dijalankan oleh Badan Kebijakan
Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dapat saja, untuk menjawab kritikan
besarnya wewenang Ditjen Pajak saat ini, wewenang penyelesaian keberatan
pajak dilepas dari Ditjen Pajak. Kementerian Keuangan dapat membentuk
unit kerja baru yang bertugas menangani proses keberatan Wajib Pajak, yang
selama ini dita ngani oleh Kantor Wilayah Ditjen Pajak.
Sehingga, Ditjen Pajak lebih
berfungsi sebagai operator penerimaan pajak dengan fokus pada aspek edukasi dan
peng-awasan terhadap Wajib Pajak. Mau tidak mau, kasus pajak mantan Dirjen
Pajak ini kembali menyeret Ditjen Pajak ke stigma yang negatif.
Ketika kasus ini terjadi, rentang
2003–2004, Ditjen Pajak memang baru memulai reformasi perpajakan. Dimana,
ada satu Kantor Wilayah Ditjen Pajak yang menjadi proyek percontohannya, yang
kebetulan Wajib Pajak BCA terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
di lingkungan Kantor Wilayah Ditjen Pajak tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar