Senin, 13 Oktober 2014

Pajak Batu Bara - Balikpapan



Abdul Rahman Rohani
921413157 / F Akuntansi
Perpajakan I

Contoh Kasus:
Pajak Batu Bara - Balikpapan
Realisasi Pajak Batu Bara di Kalimantan Timur jauh di bawah target Balikpapan. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Timur menyatakan realisasi pajak batu bara hingga November 2012 hanya 27, 2 persen atau Rp 2,53 triliun dari total target pencapaian hingga akhir tahun Rp 9,3 triliun.

“Kami baru saja menggelar gathering dengan para pelaku usaha pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit untuk menciptakan komunikasi dua yang lebih baik. Harapannya bisa tercipta iklim yang kondusif dan menguntungkan bagi kedua belah pihak,” kata Kepala Seksi Humas Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Pajak Kalimantan Timur, Basuki Hermawan, Rabu, 28 November 2012.

Basuki mengatakan pihaknya terus mensosialisasikan kepada para wajib pajak terkait pemenuhan kewajibannya selain dengan mengetahui kondisi bisnisnya di lapangan. Selain itu, melalui komunikasi ini pihaknya juga bisa mengetahui kendala yang dihadapi para wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.

Total realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2012 yang telah mencapai Rp 9,3 triliun atau 72,44% dari target tahunan yang dipatok sebesar Rp 12,84 triliun diharapkan bisa terealisasi. Kerja sama dengan para wajib pajak dan pemangku kepentingan akan memercepat pembangunan nasional karena pembiayaan negara sebagian besar berasal dari pendapatan pajak.



Komentar Saya :
Berdasarkan pengetahuan saya tentang Perpajakan, kasus ini termasuk ke dalam kategori Pajak bumi dan Bangunan (PBB) lebih khususnya Pajak untuk Bumi.
Pemerintah seharusnya lebih mengoptimalkan fungsi dari apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang menjadi subjek pajak.
Dari kasus diatas, dinyatakan bahwa total target pencapaian pajak batu bara sebesar Rp. 9,3 triliun. Akan tetapi, hingga akhir tahun 2012 yang tercapai hanyalah sebesar Rp. 2,53 triliun. Ini berarti bahwa ada satu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh para pelaku pajak atau para wajib pajak. Selisih sebesar Rp. 6,77 triliun merupakan kewajiban dari para wajib pajak yang belum disetorkan atau dibayarkan kepada negara. Dengan total yang bisa dikatakan tidak sedikit ini sudah menjadi kerugian yang sangat besar yang ditanggung oleh negara.
Seharusnya pemerintah Balikpapan bisa lebih memperjelas data dari objek pajak yang ada di daerahnya melalui Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Ini harus dilakukan agar supaya semua para wajib pajak yang memiliki pertambangan bisa memberikan kontribusi dari hasil pertambangannya kepada negara dengan membayar pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Dalam ketentuan pengurusan SPOP :
1.      Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib pajak mendaftarkan obejk pajaknya dengan mengisi SPOP. Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Dirtektorat Jenderal Pajak.
2.      SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
3.      Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal; apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yana dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Saya peribadi menghimbau kepada seluruh para wajib pajak yang berada di Indonesia agar kiranya dapat memenuhi kewajibannya masing-masing dengan membayar pajak tepat waktu. Sehingga negara kita ini dapat tumbuh dengan baik dan nantinya bisa menjadi negara maju yang dapat bersaing secara Internasional.
Terima Kasih J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar