Senin, 13 Oktober 2014

PERMASALAHAN TRANSFER PRICING



Nama                    : Wahyu Cahya Ramadhan R.A. Massa
Kelas / Jurusan    : F / Akuntansi
NIM                      : 921413162
Mata Kuliah         : Perpajakan

Permasalahan Transfer Pricing

Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa beberap divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down). Kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (Multinasional Enterprise).
Tujuannya, pertama, untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles laporan keuangan.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany mengatakan banyak perusahaan asing yang membuka anak usahanya dan berproduksi di wilayah Indonesia menghindari pembayaran pajak tinggi.
Selain itu, banyak perusahaan milik orang Indonesia yang mendirikan kantor pusat di Singapura untuk menghindari pembayaran pajak penghasilan (PPh) badan usaha maksimal di Indonesia. Tujuannya memanfaatkan tarif PPh badan usaha di Singapura yang lebih rendah ketimbang Indonesia. "Yang merugikan, misalnya, perusahaan sawit dan pertambangan," kata Fuad di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 18 September 2014.
Menurut Fuad, transfer pricing merupakan dampak perkembangan perusahaan yang memiliki anak usaha di negara lain. Skandal pajak ini memanfaatkan celah tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha lebih rendah di negara tempat produksi. Perusahaan global berupaya menekan serendah mungkin pembayaran pajak mereka di negara-negara tempat berproduksi untuk memperkecil pengeluaran.
Perusahaan global cenderung membangun anak usaha di negara dengan tarif pajak PPh badan usaha lebih kecil ketimbang negara markas perusahaan. Fuad mengatakan negara Korea dan Jepang merasa dirugikan dengan perusahaan di kedua negara itu yang mendirikan anak usaha di Indonesia. Alasannya penerimaan PPh badan usaha dari anak usaha diterima pemerintah Indonesia bukan negara mereka. Inilah yang disebut Fuad sebagai praktek transfer pricing yang tidak selalu merugikan.
“Jepang dan Korea pernah mendatangi kami dan komplain mengenai perusahaan di Jepang melakukan tranfer pricing di Indonesia. Yang untung kita," kata Fuad. Perusahaan Jepang dan Korea memilih berproduksi di Indonesia karena tarif PPh badan usaha di Indonesia lebih rendah. "Di Korea rate-nya lebih tinggi. Jadi mereka mendirikan anak usaha di Indonesia, makanya perusahaan Korea banyak di sini."
Adapun transfer pricing yang merugikan Indonesia adalah perusahaan Indonesia yang berkantor di Singapura. "Keuntungannya masuk ke Singapura," kata Fuad. Singapura mematok tarif PPh badan usaha sebesar 16 persen lebih rendah 9 persen dari tarif di Indonesia. Inilah yang membuat pengusaha menjual barang produksi Indonesia dengan banderol mahal ke Singapura. Dari Singapura, komoditas itu kembali dijual ke pasar dunia dengan harga murah.

Tanggapan dan Saran
Menurut saya, cara-cara pengakalan pajak banyak terjadi di dunia. Secara hukum, tidak ada kesalahan dalam pendirian anak perusahaan di negara lain. Tidak ada unsur pidana dari aksi penghindaran pajak sebab perusahaan bertransaksi dengan baik, benar, disertai bukti akurat.
Pembayaran pajak di masing-masing negara juga dilakukan dengan benar dan tidak menyalahi aturan. Namun, aktivitas ini mengakibatkan negara tidak memperoleh pajak secara maksimal.
Indonesia harus membuat regulasi transfer pricing yang sesuai dengan kondisi dan tujuannya. Dengan menomor satukan tujuan yang ingin dicapai oleh DJP sebagai otoritas fiskal khususnya dan tujuan nasional pada umumnya.
Melenyapkan transfer pricing bukan urusan gampang. Ketiadaan akses publik ke dalam detil rincian transaksi perusahaan, menyebabkan perusahaan leluasa memodifikasi laporan keuangan.
Perlu dikaji beberapa hal untuk mengurangi transfer pricing. Pertama, mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan.
Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebarke semua transaksi yang diindikasikan dibawah harga pasar wajar, termasuk perusahaan afiliasi.
Ketiga, menggunakan Data Pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui bank devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.
Keempat, perlu ada data center, yang meng-update harga terbaru komoditas komoditas yang ada di Indonesia. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk membandingkan kewajaran harga.
Kelima, mengumumkan ke publik tentang proses dan banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral.



Sumber sumber permasalahan :
www.pajak.go.id/
www.tempo.com/
www.kompas.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar